Kamis, 20 Desember 2012

Hukum Bagi Orang Yang Berzina


1.Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikategorikan hukuman hudud.
Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT. Sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan Qs. an-Nuur [24] ayat 2, pelaku perzinaan baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali.
Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.



2.Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya.
Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu. Namun harus berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.

3.Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan).
Tentu saja dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian. Benarkah pelanggaran hukum itu telah terjadi.
Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni :
a.    Saksi
b.    Sumpah
c.    pengakuan, dan
d.    dokumen atau bukti tulisan.

Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24] ayat 4. Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur ayat 6-10, ada hukuman khusus bagi suami yang menuduh istrinya berzina.
Menurut ketetapan ayat tersebut seorang suami yang menuduh istrinya berzina sementara ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang benar dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta.
Maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan istrinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika istrinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa laknat Allah S.W.T. atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya dipisahkan dari status suami istri dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah yang dikenal dengan sumpah li’an.

4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman seratus cambukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya. Rasulullah S.A.W. memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihat Bulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.

5.Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.

6.Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani hukuman. Al-Qur’an dalam Qs. an-Nuur [24] ayat 3 memberikan kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah bisa dikatakan hampir tidak ada.

0 komentar:

Posting Komentar